Kamis, 06 Oktober 2011

Bagaimana Memanfaatkan Devisa Hasil Ekspor?

Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 13/20/PBI/2011 tanggal 30 September 2011 tentang Penerimaan Hasil Devisa Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.


Bagaimana bank nasional memanfaatkan banjir devisa hasil ekspor itu? Menurut BI, potensi devisa yang berada di luar negeri mencapai USD31,5 miliar atau setara Rp274,522 triliun. Dana tersebut meliputi USD29 miliar dari devisa hasil ekspor dan USD2,5 miliar dari devisa penarikan utang luar negeri.

Dengan PBI ini, BI berharap seluruh devisa hasil ekspor dapat masuk ke bank nasional. PBI ini juga bertujuan untuk memelihara stabilitas keuangan di tengah kondisi yang tak menentu sebagai dampak krisis utang Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa.

Pada 27 September 2011, pemerintah pernah menyatakan ekonomi Indonesia dalam status waspada segera setelah harga saham dan nilai tukar rupiah terjun bebas selama sepekan terakhir. Kini status waspada itu sudah dicabut. Sebagai langkah antisipatif, Kementerian Keuangan sudah menyiapkan mekanisme operasi pasar yang ditopang bond stabilization fund (BSF) dan primary dealer.

BSF tersebut terdiri dari 13 badan usaha milik negara (BUMN) untuk ikut membeli kembali (buy back) surat berharga negara (SBN) ketika harganya anjlok. Primary dealer terdiri dari 18 bank dan empat perusahaan sekuritas BUMN.

Sayangnya anggaran untuk membeli kembali SBN hanya Rp3,12 triliun. Jumlah itu sangat kecil mengingat kepemilikan asing di SBN per 26 September 2011 telah mencapai Rp222,5 triliun.

Kiat Memanfaatkan Peluang

Kebijakan devisa ekspor itu pasti akan membawa berkah bagi bank nasional. Masalahnya, bagaimana bank nasional dapat memanfaatkan valas hasil devisa ekspor dengan jitu? Dengan melubernya devisa hasil ekspor, bank nasional dapat meningkatkan kredit valas.

Tampaknya, buahnya bakal manis. Namun, jangan lupa lebih dulu menghitung potensi risikonya mengingat saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih fluktuatif. Dengan bahasa lebih bening, sudah sepatutnya kredit valas disalurkan kepada perusahaan yang sudah jelas berbasis ekspor ke luar negeri.

Sarinya, menjadi tidak pada tempatnya sekiranya kredit valas justru mengalir ke perusahaan berbasis rupiah. Hal ini akan mengakibatkan ketidaksesuaian (mismatch) pada sumber pendanaan dalam pengembalian utang. Ini sungguh berisiko tinggi dipandang dari sudut manajemen risiko kredit.

Selain itu, tumpahnya valas juga dapat dimanfaatkan untuk membiayai transaksi trade finance (ekspor, impor, bank garansi).Kelebihan valas akan lebih manjur untuk kredit ekspor dan atau membiayai letter of credit (L/C). Sebagai contoh, bank nasional dapat memberikan fasilitas pembiayaan untuk melunasi kewajiban L/C untuk pembelian bahan baku atau suku cadang untuk kemudian diekspor kembali ke luar negeri.

Hal ini amat diperlukan bagi pelaku usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) yang dianggap sebagai eksportir lemah dari segi kemampuan finansial. Satu lagi. Bank nasional dapat memberikan fasilitas standby L/C (SBLC). Dengan bahasa lebih lugas, bank nasional akan bertindak sebagai bank penerbit L/C (issuing bank) untuk menjamin beneficiary (importir) kalau applicant (eksportir) melakukan wanprestasi atas kontrak jual beli.

Bukan hanya itu. Bank nasional pun dapat memanfaatkan ekses likuiditas valas dengan memberikan fasilitas kepada pelaku UMKM untuk mengambil alih tagihan ekspor secara diskonto dengan hak regres (with recourse). Pembiayaan semacam ini akan memungkinkan pelaku UMKM sebagai eksportir untuk mendapatkan pembayaran lebih cepat atas tagihan ekspor yang belum jatuh tempo.

Untuk mitigasi risiko dalam transaksi trade finance, bank nasional dapat memanfaatkan trade processing centre (TPC). TPC berada di kantor perwakilan atau kantor pusat yang berwenang untuk memverifikasi dokumen L/C yang selama ini dilakukan kantor cabang.

Lalu apa tugas kantor cabang? Kantor cabang meneliti kebenaran dan keaslian dokumen L/C segera setelah menerimanya dari nasabah.Setelah itu,kantor cabang mengirim dokumen itu melalui media elektronik ke TPC. Verifikasi dokumen L/C oleh TPC merupakan salah satu langkah strategis untuk menepis potensi risiko L/C tak terbayar (unpaid) ketika importir tak mampu memenuhi kewajibannya dan kecurangan (fraud).

Kok bisa? Karena TPC dilarang kontak dengan nasabah. Di samping itu,TPC mampu memberikan jaminan keseragaman ketepatan dalam melakukan verifikasi dokumen L/C.TPC pada umumnya dimiliki bank nasional papan atas. Nah, bank nasional lainnya dapat bekerja sama dengan bank pemilik TPC untuk mitigasi risiko sehingga aman.

Namun, sejatinya terdapat potensi risiko orang ketika terjadi rotasi petugas TPC ke unit lainnya. Untuk itu, petugas lama wajib mendampingi petugas baru sampai mahir dalam memverifikasi dokumen L/C.

Tegasnya, bank nasional harus terus memperkaya kompetensi sumber daya manusia (job enrichment) dengan aneka pengetahuan dan ketentuan baru. Alhasil, berkah kian merekah dan risiko kian rendah.● PAUL SUTARYONO Pengamat Perbankan & Alumnus MM-UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar